Selasa, 05 Januari 2010

Hati-Hati denagn Dosa Syirik

Beberapa hari lalu, melalui dua orang menteri kabinetnya, saya mengirim pesan singkat kepada Presiden SBY: “Ada dua dosa yang cepat mendatangkan azab Allah SWT, yaitu dosa syirik dan meninggalkan amar makruf nahi munkar.”

Semoga pesan itu sampai kepada Presiden SBY. Masalah tauhid dan dosa syirik, seperti kita sebutkan pada catatan yang lalu, merupakan masalah yang paling serius dalam kehidupan manusia. Syirik adalah kezaliman yang sangat besar, karena manusia yang diciptakan Allah, diberi rizki oleh Allah, diberi kehidupan oleh Allah, kemudian justru tidak tahu berterimakasih dan membuat sekutu yang lain bagi Allah.

Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan sebuah doa untuk terhindar dari dosa syirik: “Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan Engkau dengan sesuatu, sedangkan aku mengetahui hal itu. Dan aku meminta perlindungan kepada Engkau dari tindakan menyekutukan-Mu dengan sesuatu dan aku tidak tahu.” (Allahumma inni a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana a’lamu; wa a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana laa a’lamu).

Dalam buku berjudul Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafii karya Dr. Muhammad Abdurrahman al-Khumais (diterjemahkan oleh Prof. Ali Musthafa Ya’qub) disebutkan sejumlah definisi syirik menurut sejumlah ulama mazhab Syafii.

Menurut al-Raghib al-Asfahani, “Syirik yang dilakukan manusia dalam agama itu ada dua macam. Pertama, syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah, dan ini merupakan kekafiran yang terbesar. Kedua, adalah syirik yang samar (tidak jelas) dan kemunafikan.”

Al-allamah Ali as-Suwaidi al-Syafii berkata: “Ketahuilah, bahwa syirik itu adalah terjadi di Rububiyah, dan adakalanya terjadi di Uluhiyyah. Yang kedua ini dapat terjadi di dalam I’tiqad (keyakinan), dan juga dapat terjadi di dalam mu’amalat khusus dengan Allah.”

Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami al-Syafii mengingatkan bahwa iman itu bercabang-cabang, demikian juga dengan kekafiran dan kemusyrikan. Apabila orang menjalankan cabang-cabang iman tetapi juga menjalankan cabang-cabang kemusyrikan, maka ia disebut musyrik. Iman seseorang tidak akan diterima oleh Allah apabila hanya separuh-separuh; separuh iman, separuh kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini terhadap apa yang disebutkan oleh Al-Quran dan dibawa oleh Rasulullah saw, serta mengamalkannya. Orang yang beriman kepada sebagian ajaran Al-Quran dan tidak beriman kepadasebagian yang lain, maka dia termasuk kafir. Allah memperingatkan tentang orang-orang seperti ini:

“Orang-orang kafir itu mengatakan: “Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir). (QS An-Nisa : 150).

Menurut Imam Ahmad bin Hajar, mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak akan ada gunanya bagi mereka, sampai mereka mau mengamalkan isi maksud dari dua kalimah syahadat, yaitu melepaskan diri dari menyembah selain Allah dan hanya beribadah kepada Allah saja. Namun, beliau mengingatkan, agar tidak terburu-buru menuduh seseorang yang melakukan tindakan syirik sebagai kafir atau musyrik, sebelum menjelaskan kepada mereka tentang kekeliruan mereka tersebut. Barangkali mereka tidak memahami masalah tersebut karena kebodohannya. Apabila sudah dijelaskan tentang masalah syirik, tetapi tetap menjalankannya, maka barulah diperbolehkan menyebut mereka sebagai musyrik.

Peringatan Rasulullah saw dan para ulama tentang kemusyrikan ini sangat perlu kita camkan benar-benar, demi keselamatan keimanan kita masing-masing. Jangan sampai kita terjebak ke dalam dosa syirik, baik yang kita ketahui atau yang tidak ketahui, sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah saw. Sebab, syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah, kecuali orang itu benar-benar meninggalkan dosa syirik tersebut. Allah memperingatkan kita semua: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS al-Maidah: 72).

QS al-Maidah ayat 72 ini diawali dengan penegasan Allah SWT: “Sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan bahwa Allah ialah al-Masih Ibnu Maryam, padahal al-Masih sendiri berkata: Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.”

Pandangan Tauhid Islam ini sangat jelas, yakni tidak menjadikan manusia mana pun – termasuk Adam atau Isa a.s.– sebagai Tuhan atau anak Tuhan. Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah SWT untuk meluruskan pandangan dan kepercayaan kaum Nasrani tersebut. Doktrin trinitas yang mengakui Ketuhanan Yesus secara resmi diformulasikan dalam Konsili Nicea tahun 325 M. Bahkan, dalam konsili ini, pandangan Arius yang menyatakan bahwa Tuhan anak tidak sehakekat dengan Tuhan Bapak, ditolak oleh mayoritas peserta Konsili. Bahkan, dalam dekrit Nicea tersebut, Arius secara resmi dikutuk oleh Gereja. Konsili menerima pandangan Athanasius yang menyatakan bahwa Tuhan anak sehakekat (homoousios) dengan Tuhan Bapak.

Posisi Al-Quran memang sangat berbeda dengan Bibel. Sebagai kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir, Al-Quran memberikan kritik-kritik yang tegas dan jelas terhadap kepercayaan Yahudi dan Kristen. Posisi ini tentu tidak bisa sebaliknya. Karena Bible ditulis dan dirumuskan sebelum kedatangan Islam. Ibnu Taymiyah menyebut kaum Yahudi dan Kristen (Ahlul Kitab) sebagai kaum musyrik bil-fi’li, tetapi bukan musyrik bil-ismi. Dalam pandangan Islam, mereka disebut kafir ahlul kitab.

Jadi, dalam masalah keimanan, memang terdapat pandangan dan keyakinan yang sangat berbeda antara Islam dan Kristen. Sejak lahirnya Islam, masalah ini sudah sering diperdebatkan. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri beberapa kali melakukan perdebatan dengan kaum Nasrani. Karena tidak mencapai titik temu, maka Nabi Muhammad saw diperintahkan agar mengajak kaum Nasrani untuk melakukan mubahalah (sumpah laknat), sebagaimana diceritakan dalam Surat Ali Imran ayat 61:

“Barangsiapa membantah engkau tentang (kisah Isa a.s.) itu, sesudah datang kepada mereka ilmu (yang meyakinkan), maka katakanlah (kepada mereka): Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah dijatuhkan kepada orang-orang yang dusta.”

Soal perbebadaan keyakinan antara Islam dan Kristen ini haruslah diakui. Bahkan diantara kaum Nasrani sendiri terjadi perbedaan yang sangat tajam sehingga mereka membentuk sejumlah agama, seperti Katolik, Protestan, Anglikan, atau Ortodoks. Tiap-tiap agama ada keyakinan masing-masing, yang tidak sama satu dengan lainnya, bahkan saling bertentangan. Seperti keyakinan umat Islam dan umat Kristen tentang posisi Nabi Isa a.s.

Dalam pernyataan Natal bersama antara Konferensi Wali-wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), tahun 2006, dinyatakan: “Kelahiran Yesus mendatangkan sukacita besar. Sukacita itu melekat dalam diri setiap orang beriman yang mampu menghayati hakikat dan makna kelahiran Yesus. Ia lahir sebagai manusia, menjadi senasib dengan manusia, dan terbuka menyambut semua orang yang datang kepada-Nya. Ia hadir di dunia untuk mewujudkan kasih Allah kepada manusia (1Yoh. 4:9).

Kasih Allah itu berpuncak pada kayu salib ketika Yesus menyerahkan nyawa untuk menanggung dosa seluruh umat manusia.” Selanjutnya dinyatakan: “Dalam hubungan dengan sesama baiklah kita memandang setiap orang dalam iman kepada Kristus. Dengan menyadari bahwa darah Kristus juga tercurah untuk mereka, maka setiap orang yang mengaku diri sebagai pengikut dan murid Kristus akan mengasihi orang itu, walaupun dalam kenyataannyaorang itu bersikap seperti musuh.”

Umat Islam tidak pernah menerima kepercayaan bahwa Nabi Isa a.s. mati di tiang salib, karena Al-Quran sudah menegaskan, “Mereka tidak membunuh Nabi Isa dan mereka tidak menyalibnya, melainkan seseorang yang diserupakan kepada mereka.” (QS an-Nisa: 157).

Perbedaan yang mendasar ini harus diakui. Dan Konsili Vatikan II (1962-1965) juga menyatakan penghormatannya terhadap keyakinan umat Islam terhadap Nabi Isa a.s.

Dikatakan, meskipun umat Islam tidak mengakui ketuhanan Yesus, tetapi menghormatinya sebagai Nabi. Umat Islam juga menghormati keyakinan kaum Kristen tersebut, meskipun tentunya sangat berbeda secara mendasar dengan keyakinan umat Islam sendiri. Karena itu, tidaklah masuk akal ada yang menyatakan, bahwa semua agama adalah benar.

Pernyataan semacam ini jelas-jelas membenarkan pandangan yang oleh Al-Quran sudah dinyatakan sebagai pandangan kufur atau syirik.

Banyak yang sekarang ini mencoba mengecilkan masalah iman dan kemusyrikan. Ada yang menulis dalam bukunya, bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk sorga karena sudah berjasa bagi umat manusia dengan menemukan lampu. Padahal, urusan sorga atau neraka adalah urusan Allah. Islam tidak berbicara kepada perorangan Yahudi atau Kristen, tetapi memberikan kritik-kritik dan koreksi terhadap kepercayaan mereka. Kita tidak tahu, apakah Edison benar-benar orang baik. Kita tidak tahu persis perbuatan dia yang lain sepanjang hidupnya, selain penemuan lampu. Kita juga tidak tahu, apakah Edison pernah menerima risalah Nabi Muhammad saw secara benar, atau tidak pernah. Jika kriteria masuk sorga adalah karena menemukan lampu, maka kriteria itu adalah bikinan si penulis buku tersebut. Mungkin maksudnya sorga milik kakeknya sendiri.

Umat Islam diperintahkan untuk menghormati dan bermuamalah dengan baik terhadap sesama manusia, termasuk dengan pemeluk agama lain, selama mereka tidak menyerang umat Islam. Tetapi, umat Islam juga diperintahkan agar menjauhi dosa-dosa syirik. Karena itulah, kita perlu pandai-pandai meniti buih, agar selamat sampai ke seberang. Jangan sampai karena ingin dipuji sebagai orang yang toleran, akhirnya justru mengorbankan prinsip-prinsip keimanan. Mencampuradukkan keimanan atau ritual antar agama adalah tindakan yang berbahaya dari segi keimanan.

Tidak semestinya, hal ini dilakukan oleh umat Islam. Dalam perspektif inilah, mestinya fatwa MUI tahun 1981 yang mengharamkan perayaan Natal Bersama perlu diapresiasi. Fatwa ini bukan untuk merusak toleransi beragama, tetapi merupakan satu upaya para ulama untuk melindungi aqidah Islam dari kekufuran dan kemusyrikan, dalam pandangan Islam.

Fatwa ini sama sekali tidak mengharamkan umat Islam untuk bergaul atau bermasyarakat dengan kaum non-Muslim. Dan hal semacam itu tidak ada dalam kamus Islam. Islam adalah agama yang sejak awal sudah mengakui dan menghargai perbedaan. Seorang anak yang Muslim tetap diperintahkan berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun berbeda agama. Tetapi, jangan sekali-kali bermain-main dalam masalah keimanan dan kemusyrikan.

Sebab, pertaruhannya sangatlah mahal. Karena itu, sekali lagi, kita patut berhati-hati jangan sampai terjatuh ke dalam kemusyrikan. Peringatan Allah sangatlah jelas: bahwa Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Dalam suasana bencana dan musibah yang tiada henti sekarang ini, kaum Muslim, khususnya para pemimpin negara ini, patut merenungkan dengan mendalam masalah kemusyrikan ini. Jangan hanya sibuk mengandalkan ilmu geologi, meteorologi dan geofisika. Semuanya tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin dan kekuasaan Allah SWT. Allah berkuasa menghentikan gempa, menghentikan lumpur panas, menenangkan gelombang lautan, dan memindahkan turunnya hujan.

Sekali lagi, kita mengimbau para pemimpin kita: Jangan bermain-main dengan dosa syirik! Tugas dan kewajiban kita hanyalah menyampaikan nasehat. Selanjutnya, terserah kepada mereka. [Depok, 5 Januari 2006/www.hidayatullah.com]

Kajian Akhlaq: Memutuskan Hubungan Saudara Muslim lebih Dari Tiga Hari

Di antara langkah syaitan dalam menggoda dan menjerumuskan manusia adalah dengan memutuskan tali hubungan antara sesama umat Islam. Ironinya, banyak umat Islam terpedaya mengikuti langkah langkah syaitan itu. Mereka menghindar dan tidak menyapa saudaranya sesama muslim tanpa sebab yang dibenarkan syara’. Misalnya karena percekcokan masalah harta atau karena situasi buruk lainnya.

Terkadang, putusnya hubungan tersebut langsung terus hingga setahun. Bahkan ada yang sumpah untuk tidak mengajaknya bicara selama-lamanya, atau bernadzar untuk tidak menginjak rumahnya. Jika secara tidak sengaja berpapasan di jalan ia segera membuang muka. Jika bertemu di suatu majlis ia hanya menyalami yang sebelum dan sesudahnya dan sengaja melewatinya. Inilah salah satu sebab kelemahan dalam masyarakat Islam. Karena itu, hukum syariat dalam masalah tersebut amat tegas dan ancamanya pun sangat keras.

Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari, barang siapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal maka ia masuk neraka” (HR: Abu Dawud, 5/215, Shahihul Jami’: 7635)

Abu khirasy Al Aslami Radhiallahu’anhu berkata, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa memutus hubungan dengan saudaranya selama setahun maka ia seperti mengalirkan darahnya (membunuhnya) “ (HR: Al Bukhari Dalam Adbul Mufrad no : 406, dalam Shahihul Jami’: 6557)

Untuk membuktikan betapa buruknya memutuskan hubungan antara sesama muslim cukuplah dengan mengetahui bahwa Alloh menolak memberikan ampunan kepada mereka. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “semua amal manusia diperlihatkan (kepada Allah) pada setiap Jum’at (setiap pekan) dua kali; hari senin dan hari kamis. Maka setiap hamba yang beriman diampuni (dosanya) kecuali hamba yang di antara dirinya dengan saudaranya ada permusuhan. Difirmankan kepada malaikat :” tinggalkanlah atau tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini sehingga keduanya kembali berdamai” (HR: Muslim: 4/1988)

Jika salah seorang dari keduanya bertaubat kepada Alloh, ia harus bersilaturrahim kepada kawannya dan memberinya salam. Jika ia telah melakukannya, tetapi sang kawan menolak maka ia telah lepas dari tanggungan dosa, adapun kawannya yang menolak damai, maka dosa tetap ada padanya.

Abu Ayyub Radhiallahu’anhu meriwayatkan, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak halal bagi seorang laki-laki memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga malam. Saling berpapasan tapi yang ini memalingkan muka dan yang itu (juga) membuang muka. Yang terbaik di antara keduanya yaitu yang memulai salam” (HR: Bukhari, Fathul Bari: 10/492)

Tetapi jika ada alasan yang dibenarkan, seperti karena ia meninggalkan shalat, atau terus menerus melakukan maksiat sedang pemutusan hubungan itu berguna bagi yang bersangkutan misalnya membuatnya kembali kepada kebenaran atau membuatnya merasa bersalah maka pemutusan hubungan itu hukumnya menjadi wajib. Tetapi jika tidak mengubah keadaan dan ia malah berpaling, membangkang, menjauh, menantang, dan menambah dosa maka ia tidak boleh memutuskan hubungan dengannya. Sebab perbuatan itu tidak membuahkan maslahat tetapi malah mendatangkan madharat. Dalam keadaan seperti ini, sikap yang benar adalah terus-menerus berbuat baik dengannya, menasehati dan mengingatkannya.

Seperti hajr (pemutusan hubungan) yang dilakukan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam kepada Ka’ab bin Malik dan dua orang kawannya, karena beliau melihat dalam hajr tersebut terdapat maslahat. Sebaliknya bila menghentikan hajr kepada Abdullah bin Ubay bin Salul dan orang-orang munafik lainnya karena hajr kepada mereka tidak membawa faidah.

Kajian Akhlaq: Orang Yang Memiliki Jiwa Besar

Akhlaaqul kibar (orang yang memiliki jiwa yang besar), mereka itulah orang-orang yang berakhlak dengan akhlak yang tinggi, mereka meninggalkan akhlak-akhlak yang rendah serta perkara-perkara yang hina. Termasuk disini adalah semuanya, baik itu dari kalangan ulama, du’at dan kaum muslimin pada umumnya.

Yang dimaksud akhlaaqul kibar disini adalah orang yang berjiwa besar, bukan orang yang berjiwa kerdil yang jika dipuji dia senang dan apabila dicela dia marah, memutuskan hubungan dengan orang hanya karena tidak senang, tersinggung, hanya karena jengkel atau marah. Atau menjalin silaturahmi hanya karena senang dengan orang-orang tertentu kemudian memutuskan hubungan silatuhrahmi hanya karena tidak senang dengan orang tertentu dan karena sebab-sebab tertentu pula. Orang yang berakhlak kibar adalah orang yang tidak memusuhi hanya karena orang tersebut mengkritik atau mengejek dirinya.

Orang yang berakhlak kibar bukan pula berarti orang yang memiliki jabatan-jabatan yang tinggi. Dalam bahasa Arab اْلكَبَارُ bisa berarti tua dan bisa berarti besar jabatannya. Jadi orang yang berjiwa besar adalah orang yang ketika menyikapi sesuatu untuk kepentingan yang besar, untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, bukan untuk kepentingan dirinya. Orang-orang yang seperti inilah yang lebih pantas kita sebut-sebut dan kita sebarkan kisah-kisah mereka untuk menjadi pelajaran bagi kita.

Kita sangat perlu dengan materi seperti ini karena masalahnya yang begitu penting. Kita melihat berapa banyak khitbah yang dibatalkan, berapa banyak hubungan kecintaan yang dulunya terjalin berubah menjadi permusuhan, berapa banyak hubungan kerjasama dalam urusan duniawi maupun ukhrowi (dakwah) bubar hanya karena orang-orang yang berjiwa kerdil. Dia tidak rela apabila ada atau muncul kekurangan dari orang lain terhadap dirinya. Dan apabila hal itu terjadi, maka hubungan itu langsung putus, tidak lagi mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah diperoleh, tidak mengingat lagi kebersamaan yang pernah dijalin beberpa waktu yang lalu. Semua itu berubah menjadi permusuhan dan kebencian yang disebabkan adanya kesalahan dan kekurangan yang muncul dari orang lain terhadap dirinya. Kemudian dia menjadi orang yang mudah membenci, orang yang mudah mencela, orang yang berbuat hal-hal kurang pada dirinya. Semua perbuatan diukur dengan timbangan hawa nafsunya yang apabila menyenangkan dirinya, ia senangi dan apabila menjengkelkan, dia benci. Sikap seperti ini muncul karena ada orang-orang yang lebih memilih pada asal penciptaannya yaitu tanah. Manusia diciptakan dari dua unsur yaitu unsur tanah dan unsur ruh.

Kita tahu bahwa tanah berada dibawah. Orang-orang yang berjiwa kerdil mengukur segala sesuatu dengan hal-hal yang hina dan itu kembali ke asal penciptaanya yaitu tanah, dia berakhlak dengan akhlak yang rendah, akhlak yang hina.

Berbeda dengan orang-orang yang mulia, dia selalu mengukur sesuatu dengan hal-hal yang tinggi dan mulia. Itulah sifat yang kedua dari penciptaan manusia yaitu ruh.

Orang yang berjiwa besar adalah orang-orang yang selalu berusaha melepaskan ikatan-ikatan yang melingkupi jiwanya, tidak melihat semua dengan ukuran hawa nafsunya. Ketika dia bisa melewati ikatan-ikatan tersebut, maka dia masuk pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu orang yang bisa melepaskan semua keinginan hawa nafsunya. Dia bisa berhubungan dengan orang, siap menerima kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang muncul dari orang lain. Orang yang ingin mencapai derajat yang tinggi tidak mungkin dapat mencapainya tanpa jiwa seperti ini dan berakhlak sebagaimana telah disebutkan.

Ketika kita berbicara tentang tema ini, kita tidak membicarakannya untuk orang lain, melaikan pertama untuk diri saya pribadi dan kedua para hadirin semua. Artinya jangan sampai ketika kita membicarakan hal ini kita berpikir “ini untuk Si Fulan yang akhlaknya masih kurang, ini untuk Si Filan yang memang akhlaknya tidak seperti ini”. Jangan kita bayangkan ketika kita berbicara tentang ini, pembicaraan ini ditujujukan pada orang-orang tertentu, tetapi yang perlu kita lakukan adalah menghadirkan diri kita, hati kita untuk memperhatikan materi ini.

Jadilah orang yang berfikir, orang yang hadir dengan hatinya dan kemudian datang untuk istifadah. Perbaharuilah hidupmu, dan tingkatkanlah akhlakmu, kemudian berubahlah. Kemudian pulang dari tempat ini dengan wajah yang berubah dengan suasana yang berubah dengan akhlak yang berubah.

Materi ini ditujukan kepada semua kalangan baik ulama, du’at, thulabul ilmi dan orang-orang yang punya jabatan, baik jabatan yang tinggi maupun rendah. Juga ditujukan kepada pra bapak, ibu kemudian para pendidik dan para pengajar serta orang awam pada umumnya dan ditujukan kepada semua yang ingin mencari kesempurnaan.

Mungkin ada diantara kita yang tidak rela disifati dengan sifat yang kerdil, hidup dalam cara berfikir yang sempit, degan hati yang sempit, dan dengan jiwa yang sempit juga. Semua orang sepakat bahwa materi kajian ini adalah sesuatu yang baik, suatu yang terpuji dan suatu yang mulia dan semua jiwa pasti merindukannya.

Seandainya dakwah Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dakwahnya hanya bertujuan pada akhlak saja tentu orang-orang akan mengikuti dakwahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahulloh, “Kalaulah dakwah ini hanya tertuju pada akhlak, sebagaimana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam kalau dakwahnya hanya tertuju pada akhlak, tanpa membahas kemusyrikan, tauhid, tentu orang-orang akan mengikuti dakwahnya”.

Semuanya sepakat dalam teori, baru dalam prakteknya kelihatan sendiri. Semua orang bisa bicara tentang akhlak yang baik, tapi dalam prakteknya akan terlihat aslinya.

Yang penting bukannya orang menganggap baik, kemudian orang senang mendengarkan akhlak yang baik, tapi yang paling penting adalah perubahan dan ada akhlak yang berubah.

Orang yang halus atau orang yang lembut bukanlah orang yang lembut hanya saat senang, tapi juga pada saat marah dia dapat bersifat lembut. Yang namanya akhlak bukan hanya kita dapat tersenyum kepada saudara kita pada saat bersama teman-teman kita, bersama orang-orang yang duduk di majlis bersama kita, tetapi akhlak adalah yang dapat kita bawa dalam setiap keadaan dan pada setiap tempat.

Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mensifati Dzat-Nya dengan sifat العفو al ‘afuu (Yang Maha Mengampuni). Sifat ini adalah salah satu sifat yang sangat agung dan mulia. Maksud sifat Alloh Subhanallohu wa Ta’ala العفو al ‘afuu adalah Alloh Subhanallohu wa Ta’ala membiarkan hamba-Nya, mengampuni hamba-Nya yang berbuat kesalahan dan tidak memberikan adzab kepada hamba-Nya secara langsung ketika hamba-Nya durhaka kepada-Nya. Kita memohon pada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala agar Dia menaungi kita semua dengan segala ampunan-Nya dan dengan segala kemurahannya.

Ketika kita mendengar beberapa sifat ini yang manjadi pertanyaan pada diri kita adalah apakah kita punya sifat-sifat ini? Atau kita termasuk orang yang ketika melihat ini ternyata akhlak tersebut banyak melekat dalam diri kita sehingga ketika kita berurusan dengan orang lain kita sampai bermusuhan dan kita membuat hitung-hitungan dengan mereka.

Banyak diantara kita yang masih rancu untuk mebedakan antara membela diri sendiri dan membela agama. Kadang-kadang dia balas dendam kepada orang lain akan tetapi dia mengatasnamakan agama, mengatasnamakan aqidah, mengatasnamakan keimanan, yang sebenarnya dia membela diri sendiri, dan untuk memuaskan hawa nafsunya, akan tetapi dia merasa membela Alloh Tabaraka Wa Ta’ala. Ada juga yang mengatasnamakan ‘izzah (kemuliaan jiwa). Mungkin dia mau menunjukkan bahwa orang mukmin adalah orang yang memiliki ‘izzah, kerena sesungguhnya ‘izzah itu milik Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, milik rasul-Nya, dan milik orang-orang yang beriman. Namun, dalam prakteknya kadang-kadang dia membalas dendam dan tidak terima dengan semua ejekan atau semua yang menjatuhkan harga dirinya, yang sebenarnya bukan atas nama kemuliaan sebagai seorang mukmin tapi karena dia tidak rela namanya disinggung kemudian diejek oleh orang lain.

Banyak orang yang rancu atau mencampur adukkan antara dia mempertahankan dirinya sendiri atau hawa nafsunya, mempertahankan agama, kemuliaan sebagai seorang mukmin atau kemuliaan pribadinya. Sehingga apabila dia marah, apabila dia membalas, dia mengira bahwa ini dalam rangka betul-betul mempertahankan jati dirinya sebagai seorang muslim. Padahal dia sebetulnya mempertahankan hawa nafsunya. Ia beralasan dengan firman Alloh Azza Wa Jalla, yang artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS.As-Syura: 39).

Padahal sudah ma’lum (diketahui) bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semisal dengannya menjelaskan tentang keutamaan sikap ‘afuu, sikap pemaaf kepada orang yang menyakiti dan merendahkan kita. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artuinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia”.(QS. Fushilat: 34).

Akan tetapi, tiada yang sangup atau diberikan sifat tersebut kecuali orang-orang yang sabar. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (QS. Fushilat:35).

Akan tetapi, kemudian datanglah syaitan mendorongnya untuk membela dirinya dan beranggapan jika dia tidak melakukan pembelaan ini dianggap lemah, manusia akan mencelanya dengan mengatakan ‘lemah’ atau ‘kurang.’ Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS. Fushilat:36).

Berapa banyak orang-orang yang lupa bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mensifati diri-Nya dengan sifat ini serta memberikan pujian bagi orang-orang yang mau melakukannya. Wallahu A’lam (Bersambung ke Artikel Kisah Nyata Orang Yang Memiliki Jiwa Besar)